Menjelang Agustus, saya seolah mengalami dejaVu. Mengalami lagi sesuatu yang pernah tejadi di masa lalu. Ini terutama saat saya sedang berada di jalanan. Para penjaja miniatur bendera merah putih kini banyak ‘hadir’ di lampu-lampu merah.
Satu hal yang selalu mengherankan saya dan sering membuat kesal adalah anak-anak muda sebuah kawasan yang memblokir setengah jalanan untuk meminta sumbangan, katanya untuk 17 Agustusan.
Pemblokiran yang kemudian bikin macet ini pun terjadi lagi. Sabtu 26 Juli lalu, saya dan seorang teman berkendara menuju Cirebon. Di jalan sekitar Pamanukan Subang, ada jembatan yang baru dibangun. Sekitar satu kilometer menuju jembatan itu, terlihat laju kendaraan agak tersendat. Awalnya kami pikir jembatannya belum selesai, masih ada yang harus diperbaiki.
Tapi, ketika sampai pada titik kemacetan, terlihat beberapa pemuda dengan ikat kepala dan kaca mata hitam. Jumlahnya lumyan banyak. Keberadaan mereka hampir menutupi badan jalan dan hanya menyisakan sedikit ruang saja yang pas hanya untuk satu mobil. Bayangkan saja, dari tiga jalur menjadi satu mobil! Bottle neck! Gilee banget!
Udara panass banget saat itu, membuat rasa kesal jadi berlipat. Maunya, saya turun dan membentak mereka, kok beraninya mereka menutup jalan seperti itu. Meski alasannya demi perayaan kemerdekaan, saya kira benar-benar tidak pantas. Saya bingung, kemana para aparat pengatur jalan? Huuh..
Alasan lain adalah soal meminta sumbangan itu.. Duh apakah tidak ada cara yang lebih kreatif ya.. Misalnya para muda mudinya membuat tempat singgah, apalagi kawasan itu banyak dilalui mereka yang melakukan perjalanan panjang. DI tempat singgah itu, mereka bisa menjual makanan atau oleh-oleh khas dari daerahnya. Continue reading